Friday, September 30, 2022

EKSISTENSI WOR BIAK (Part 4)

         KEBERADAAN WOR BIAK PASCA TAHUN 1990

Kedua pengaruh yang dilukiskan di atas sudah lama berlalu sejak Irian Barat diserahkan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Gereja Kristen Injili di Irian Jaya yang melanjutkan pekerjaan Zending dan telah berhasil mengkristenkan semua orang Biak, ingin kembali memanfaatkan seni Wor sebagai musik Gerejawi dalam rangka Theologi Kontekstualnya. Sedangkan pemerintah di sisi lain memeberi kebebasan seluas-luasnya kepada setiap etnik dibumi Nusantara untuk melestarikan seni budayanya dalam rangka memperkaya khasanah Budaya Nusantara yang ber-Bhineka Tunggal Ika, sekaligus memperkuat ketahanan nasional di bidang kebudayaan. Namun hambatan baru muncul justru dari generasi muda Biak Numfor sendiri yang lahir paska Keputusan Kainkain Karkara Biak. mereka ini sebetulnya tidak lagi mengalami suasana traumatic seperti yang dialami orang tua dan kakek-kakek mereka kendati demikian generasi ini nampaknya dihantui oleh bentuk ketakutan baru yang berpautan dengan struktur dan pola nada Wor Biak yang tidak lazim seperti lagu-lagu diatonis yang dipelajari di sekolah, di gereja maupun yang didengar melalui radio dan televisi, sehingga mereka beranggapan bahwa lagu-lagu Wor sangat asing dan sangat sulit untuk dinyanyikan. Di samping itu mereka menganggap diri sudah modern sehingga merasa malu kalau menyanyikan lagu-Iagu Wor yang dianggap ketinggalan jaman. 

Data terakhir yang dicatat pada awal decade 1990-an menunjukkan bahwa diseluruh kabupaten Biak Numfor hanya terdapat tiga (3) kampung yang masih aktif dan secara utuh menguasai dan menyanyikan kedelapan belas jenis lagu Wor Biak, adalah : kampung Rarwaina dan Dernafi di kecamatan Biak Utara dan Kampung Opieref di kecamatan Biak Timur serta kampung Samber di kecamatan Yendidori. Meski demikian dapat dipastikan bahwa setiap kampung di Biak Numfor sampai saat ini masih memiliki penyair Wor, Baik pria maupun wanita, walaupun jumlahnya sedikit karena digusur usia. Kendati mereka tidak menguasai seluruh jenis Wor Biak tetapi beberapa jenis populer seperti "Beyuser” dan Dow Mamun” dapat digubah dan dinyanyikan dengan baik. orang-orang ini sering membentuk group- group duet, trio atau quartet dan menyanyikan Wor Refo pada setiap kebaktian hari minggu. Group-group Refo yang menyanyikan Wor-wor Alkitab inilah yang akhir- akhir ini sedang menggejala di kampung-kampung dan jemaat-jemaat di Biak Numfor.

(Kumpulan artikel Eksistensi Wor Byak)

Wednesday, September 28, 2022

EKSISTENSI WOR BIAK (Part 1)

         SIKAP ZENDING TERHADAP WOR BIAK (1855-1930)

Wor sebagai nyanyian adat suku Biak Numfor pernah mengalami masa jaya, Jauh sebelum agama Kristen menjangkau daerah ini. Masa jaya itu dapat dijejaki lewat peninggalan syair wor masa Iampau dalam wujud sastera Monumental yang isinya mengisahkan tentang pengalaman orang - orang Biak yang melakukan pelayaran penjelajahan jauh sampai ke wilayah Indonesia bagian barat. Dalam syair-syair wor kuno Biak disebutkan nama - nama tempat seperti Sup Maraka (Negeri Malaka) Sup Jawa (Negeri Jawa) Sup Rain (Negeri Seram) yang diduga pernah dikunjungi orang-orang Biak dengan perahu penjelajahnya. Keberhasilan pelayaran orang-orang Biak sebagaimana dilukiskan di atas, merupakan salah satu wujud nyata dari peranan wor Biak, baik selaku media ritual religius melalui lagu - lagu permohonan dan penangkal angin (Dow beyor ma bekok wam) maupun melalui lagu - lagu motivator semangat juang di lautan (Erisam dan Wonggei). Masa jaya seni wor Biak mulai nampak kemundurannya sejak agama Kristen masuk ke daerah ini. Dari sejarah Zending diketahui bahwa injil pertama kali didaratkan di Papua (Mansinam - M'nukwari) 5 Februari, l855 oleh kedua rasul Ottow dan Geissler sebagai pekerja pada Zending yang berkebangsaan Jerman. Dalam laporan-laporan tua yang ditutis oleh kedua Zending itu diperoleh kesan, bahwa keduanya sangat antipati terhadap perayaan upacara -upacara ril adat orang Numfor di sekitar teluk Dore pada waktu itu dan nampaknya kedua Zending itu sudah mengenal orang Biak karena dalam salah satu laporan mereka terselip pernyataan yang kurang simpatik terhadap suku bangsa ini. Orang Biak dijuluki: Bajingan kafir yang membuat pesisir utara pulau Papua gaduh dengan lagu perang dan gemuruh tifa serta suara kasar dari syair-Sayair kemenangan". Adapun yang dimaksud dengan syair-syair kemenangan oleh Ottow dan Gessler adalah lagu-lagu "Dow Mamun" yang dinyanyikan orang Biak apa bila mereka mengalahkan musuh dan berhasil menangkap budak.

Caranya adalah dengan mengajak orang-orang Biak mengikuti kebaktian hari minggu lalu mendengar ceritera Alkitab yang dibawakan oleh pendeta dalam bahasa Biak ; dan sesuai proses kreativitas penciptaan seni wor, oleh penyair Biak ceritera tadi secara spontan dikisahkan kembali dalam struktur dan pola musik wor, sehingga ceritera Alkitab lebih cepat meresap dimengerti dan dihayati oleh para penyanyi peserta kebaktian.himpunan karya penyair-penyair Biak diterbitkan oleh Pendeta Agter denan nama “SAMPARI" (Bintang Pagi) yang selanjutnya disebut WOR REFO (Wor Alkitab).

Beberapa Wor versi sampari sampai sekarang masih dilagukan oleh orang-orang Biak pada kesempatan kebaktian hari minggu.

(Kumpulan artikel tentang Eksistensi Wor Byak)

EKSISTENSI WOR BIAK (Part 5)

         FUNGSI WOR BIAK.

WOR SEBAGAI MEDIA RITUS RELIGIUS.

Telah disinggung pada awal tulisan ini bahwa selaku atribut upacara adat Biak, Wor berfungsi melindungi seorang individu dalam momen peralihan peran sosialnya mulai saat lahir, hidup sampai mati. Leluhur Biak mengatakan "Nggo wor Baido, Nari nggo mar" artinya: Kalau kami tidak menyanyi kami akan mati. Hakekat dari pernyataan ini adalah bahwa Wor merupakan jaminan kepastian dan kelestarian hidup bagi orang Biak Numfor. Pernyataan ini dapat dipahami apabila kita lebih dalam mengkaji konsepsi dari fenomena "hidup" dan fenomena”mati” dalam konteks budaya setempat. Pengertian “hidup” dalam budaya Biak, adalah : wujud dari penyatuan antara unsur-unsur hidup yang terdiri dari ”Rur” (Roh) dan "Nin" (Bayangan). Sebaliknya konsepsi ”mati” diterima sebagai peristiwa penguraian antara "Rur" dan “Nin” yang berlangsung secara kekal dan tak mungkin untuk menyatu kembali. Dalam konteks ini dan kaitannya dengan pernyataan diatas nyanyian Wor berperan sebagai media penjamin penyatuan antara unsur-unsur hidup itu. fungsi magis religius Wor Biak sebagai pelindung hidup yang antara lain dapat disimak lewat jenis lagu "Dow Mamun" yakni Lagu Perang atau Lagu Kemenangan yang dilagukan disaat matahari terbit diufuk timur. Orang Biak beranggapan bahwa malam dengan kegelapannya merupakan symbol kematian, karena pada malam hari, saat orang tidur terjadi penguraian sesaat antara kedua unsur hidup “Rur” dan “Nin” yang wujudnya antara lain dapat dilihat dalam peristiwa mimpi. Sebaliknya matahari diterima sebagai symbol kehidupan, karena saat terbit di ufuk timur manusia terbangun dari tidurnya dan kedua unsur yang terurai di malam hari kembali menyatu seperti sedia kala. Fungsi Wor sebagai pelindung hidup ditemui dalam jenis lagu "Dow Arbur". Dalam pesta adat Biak lagu ini dinyanyikan lewat tengah malam untuk menyanjung makluk "Arbur" yakni Makluk Gaib penghuni pohon beringin agar tidak mengganggu anak yang diinisiasi pada saat itu. Aspek ini dijumpai dalam jenis Wor "Randan" yakni lagu yang dinyanyikan pada kesempatan upacara "Fan Nanggi" yaitu upacara “Menjamu Tuhan Langit yang oleh orang Biak dipandang sebagai Kuasa tertinggi yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Aspek yang sama ditemui pula dalam lagu “Dow Beyor Wam”  (Lagu Pemohon Angin) dan “Dow Swandibru”  (Lagu Penangkal Angin).

 

WOR SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI TRADISIONAL.

Sebagai bentuk sastra Wor merupakan media komunikasi tradisional dimana seorang penyair Wor akan menyampaikan informasi atau pesan kepada masyarakat pendengarnya. Pesan-pesan itu umumnya dikemas dalam bahasa politik yang menggunakan lambing-lambang serta idom-idom setempat sehingga pesan-pesan itu mampu membangkitkan rasa simpati menambah pengetahuan, dukungan, bantuan, pujian, kemarahan, kekesalan, penyesalan bahkan duka cita. Wor-wor  Biak pada umumnya komunikatif dan informative.

WOR SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN TRADISIONAL.

Wor juga berfungsi sebagai media pendidikan tradisional karena mengandung pesan-pesan yang bermuatan nasehat, peringatan, dorongan, pengetahuan sejarah asal-usul keret/marga mitologi, legenda yang semuanya disampaikan dalam bahasa puitik bergaya satire pensonifikasi plastis dan lain sebagainya. -Syair-syair bertema pendidikan ditemui dalam jenis lagu "kansyaru","erisam" dan sebagainya.

WOR SEBAGAI MEDIA KONTROL SOSIAL.

Seseorang yang lalai melaksanakan kewajibanya selaku warga masyarakat adat Biak dapat dikontrol lewat puisi dan lagu Wor, sehingga ia dapat menyadari dan menyesali ucapan tindakan atau perilakunya yang bertentangan dengan norma adat yang berlaku. Seorang pemimpin tradisional yang bertindak sewenang-wenang dapat dikontrol oleh warganya melalui pendekatan puitik sehingga. ia dapat menyadari tindakan- tindaknnyalah merenungi kembati hakekat dari esensi kepemimpinannya, yang dapat eksis karena adanya rakyat dan didukung oleh rakyat.

WOR SEBAGAI SASTERA MONUMENTAL.

Aspek monumental dari sastera Wor ditemui dalam jenis lagu "Beyuser" yakni nyanyian narasi". sesuai dengan sifat lagu ini yang cenderung menceriterakan kejadian-kejadian peristiwa-peristiwa serta pengalaman paling berkesan dalam hidup seorang penyair Biak, baik pengalaman langsung maupun pengalaman tidak langsung melalui orang lain seperti kisah heroik pahlawan budaya setempat legenda dogeng suci bahkan sejarah maka Wor Beyuser dapat dikategorikan sebagai sastera monumental yang berfungsi menyimpan kejadian- kejadian itu dalam ingatan orang Biak Numfor untuk diwariskan dari generasi ke generasi. Salah satu Beyuser terkenal dalam perbendaharaan Wor Biak adalah “Beyuser Mananarmakeri” yang memuat kisah tentang tokoh mitologi orang Biak bernama Mananarmakeri. Konon tokoh ini memiliki rahasia hidup abadi tetapi karena dihina dan diejek oleh orang Biak sendiri maka ia marah lalu minggat ke dunia barat dan rahasia itu diungkapkan untuk orang barat. Itulah sebabnya orang Barat hidup sehat makmur dan sejahtera. Mananarmakeri berjanji suatu saat ia akan kembali ke Biak dan rahasia itu akan ia hibahkan kembali kepada orang Biak yang adalah pemilik sah dari rahasia hidup abadi tersebut.

WOR SEBAGAI ALAT LEGITIMASI POLITIK TRADISIONAL.

Aspek politik dari Wor Biak umumnya ditemui dalam jenis lagu ”Dow Mamun”  atau Lagu Perang yang dalam praktek sesungguhnya befungsi merangsang semangat juang orang Biak untuk melakukan ekspansi politik dengan cara menyerang daerah-daerah sasaran di luar kawasan Biak Numfor untuk kemudian ditaklukan dan diduduki.

Permukiman orang Biak Numfor terdapat di sepanjang pesisir pantai utara kepala burung pulau Papua sampai ke pulau-pulau Raja Ampat di kabapaten Sorong, atau pemukiman di pulau-pulau Kumamba serta kampung Abe pantai di kabupaten Jayapura menjadi bukti sejarah tentang peranan Wor Biak sebagai alat ekspansi dan legitimasi potitik di masa lampau.

WOR SEBAGAI MEDIA HIBURAN.

Aspek hiburan lebih banyak menonjol dalam jenis lagu “Erisam” yang umumnya memuat syair-syair jenaka yang bermaksud mengejek si Tuan dan Nyonya pesta yang kurang lancar memberi service kepada para penyanyi Wor. uenlan ejekan-ejekan atau sindiran-sindiran itu Tuan dan Nyonya pesta pasti meningkatkan pelayanannya dengan menyuguhkan makanan, minuman dan hidangan kakes (Tembakau dan pinang) paling istimewa kepada penyanyi Wor.

WOR SEBAGAI ALAT LEGITIMASI IDENTITAS SOSIAL.

Seorang penyair dan penyanyi Wor Biak mempunyai status sosial yang cukup terpandang dalam ukuran masyarakat adat Biak Numfor di masa lampu, karena dengan menggubah dan menyanyi wor ia memperoleh kemasyuran dimana-mana,  termasuk juga kekayaan dan gengsi. Ia disegani karena “rahasia nyanyian Wor”  yang tidak dimiliki orang awam, dan rahasia magis tersebut merupakan suatu kekayaan individu yang diturunkan dari generasi ke generasi dalam lingkup keret/marga dan keluarganya sendiri.

WOR SEBAGAI SUMBER PEMASUKAN EKONOMI.

Dalam kesempatan pesta adat. Salah satu ciri identitas pesta adat Biak adalah kegiatan transaksi harta dan makanan. Pihak orang tua si initiandus menyiapkan makanan lalu para kerabat penyanyi datang mengkonsumsi makanan itu sambil menyanyikan Telah disinggung sebelumnya bahwa Wor dinyanyikan secara utuh dan lengkap wor guna melindungi si individu dari ancaman yang hendak mengusik keberadaannya. Sebagian makanan dimakan pada kesempatan pesta berlangsung sebagian lagi dibawa pulang ke rumah masing-masing dalam  bentuk natura.

Seorang  penyair dan penyanyi Wor dapat juga dibayar oleh orang lain untuk membuat Wor guna memperingati sesuatu kejadian berkesan yang dialami oleh si pemberi order.

Seorang penyair dan penyanyi Wor yang mahir dapat juga meminta makanan dan minuman dengan hanya melagukan Wor. Orang yang mendengarnya tergugah dengan syair yang dilagukan dan dengan ikhlas mengulurkan tangan untuk membantu tanpa Pamrih'

WOR SEBAGAI BEJANA KOSAKATA BIAK

Orang-orang tua sering menasehatkan :  "Kalau ingin mengetahui dan menguasai bahasa klasik Biak, maka rajinlah belajar mendengar dan mengoleksi syair-syair Wor Biak.

Nasehat itu nampaknya cukup beralasan karena Wor Biak memilki perbendaharnan kata yang jarang dijumpai dalam percakapan sehari-hari. Banyak kata-kata klasik Biak yang jarang muncul dalam bahasa lisan Biak, tetapi masih tersimpan rapih dalam  pustaka wor Biak. Wor Biak juga sarat dengan plesetan kata yang menyimpang jauh dari arti denetatif kata asalnya tetapi justru dalam bobot sastera wor itu sendiri plesetan-ptesetan itu berfungsi sebagai pemanis dan pengindah kata dalam pengahayatan estetika setempat, sekaligus sebagai ciri unik dari jenis sastera lisan ini.

(Kumpulan artikel tentang Eksistensi Wor Byak)


EKSISTENSI WOR BIAK (Part. 3)

         KEPUTUSAN KAINKAIN KARKARA BIAK (1948)

Seusai Perang Dunia-II, Pemerintah Kolonial Belanda kembali berkuasa di Biak-Papua bermaksud melakukan penertiban terhadap unsur serta aspek budaya setempat yang dianggap menghalangi kemajuan orang Biak yang kala itu ditargetkan sebagai pionir-pionir pembangunan di Papua. Unsur serta 'aspek budaya yang dimaksud adalah upacara adat dan nyanyian Wor Biak. Mas Kawin, kasus kasus persinahan dan pembunuhan, yang tidak jarang menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat

Dalam rangka realisasi dari program sivilisasi tersebut, maka pada tahun 1947 dibentuk suatu Dewan Daerah yang diberi nama "KANKAIN KARKARA BIAK” (Dewan Musyawarah Biak) yang disahkan dengan surat Keputusan Residen Nieuw Guinea Nomor 418 tanggal 20 November l947, yang anggotanya terdiri dari Kepala- kepala kampung di seluruh Biak Numfor, sedangkan ketuanya dirangkap oleh HPB JV de Bruin Kepala Pemerintahan Onder Afdeeling Schooten dan Numfor.

Oleh karena adanya masukan-masukan dari guru-guru Zending yang ditawan pada saat gerakan Koreri di Pulau Rani serta fakta tentang peristiwa trauma di Mansawam, membuat Wor Biak diagendakan sebagai bahasan utama pada pertemuan perdana Kainkain Karkara Biak yang dilaksnakan di Kameri Numfor pada tanggal 8-9 Maret 1948. 

Hasil peretemuan di Kameri kemudia dituangkan dalam “Daftar Keputusan dari Kepala Pemerintah Daerah Kepulauan Schouten dan Noomfor Nomor 1 tanggal 23 april 1948 yang isinya antara lain memutuskan bahwa: 

Nyanyan wor itu memperoleh ijin untuk dinyanyikan sekiranya sudah mendapat keluasan dari Kepala Distrik dan pada waktu menyanyikan wor, polisi ada serta; jadi apabila polisi belum hadir, maka Wor itu tidak boleh dilakukan (lampiran l). 

Sedangkan nyanyian Wor yang sama sekali dilarang adalah : 

Wor Mamun (Lagu perang), 

Wor Aurak (Lagu menghimpun prajurit), 

Wor Armis (Lagu pemancing kemarahan musuh), 

Wor Fan Nanggi (Lagu/upacara memberi makan langit) serta 

Wor Rasrus (Lagu menggali orang mati). 

Lagu-lagu tersebut di atas adalah lagu-lagu yang merangsang semangat perang, kultus pemujaan terhadap Tuhan langit orang Biak dan kultus terhadap arwah orang mati.

Disamping permintaan dari pihak Zending pemerintah kolonial melarang orang Biak menyanyi Wor karena Wor dianggap sebagai media provokatif yang gampang menyulut semangat rakyat untuk bangkit menentang pemerintah colonial Belanda, Larangan tersebut lebih memperparah kemunduran Wor yang sebelumnya dimusuhi Zending.

Orang Biak takut menyanyi Wor karena kuatir ditangkap polisi colonial Belanda dan dimasukan di penjara. Meski banyak orang Biak yang memiliki keahlian mengubah dan menyanyi Wor, tetapi keahlian ini tidak sempat mereka turunkan kepada generasi berikutnya karena diliputi rasa kuatir yang mendalam sebagai imbas dari Keputusan kepala Pemerintah Daerah Kepulauan Schouten dan Noomfor Nomor 11 tanggal 28 April 1948.

(Kumpulan artikel Exsistensi Wor di Biak)

EKSISTENSI WOR BIAK (Part. 2)

         WOR BYAK DALAM GERAKAN KORERI (1939-1943).

Sangat disesalkan bahwa metode kontekstual yang diprakarsai oleh Agter tidak berahan lama. Pada tahun 1939 timbul peristiwa Koreri, yakni gerakan Ratu Adil versi Biak yang bertujuan menegakkan suatu Negara Bahagia Koreri yang berakar pada kebudayaan Biak. Gerakan ini bermarkas di Rani dan Insumbabi yang dipimpin oleh seorang "Konoor" wanita bernama : Enggenditha Menufandu (Konoor : penganjur gerakan Koreri). Gerakan koreri umumnya diilhami oleh tokoh mitologi orang Biak Numfor bernama "Mananarmakeri". Konon tokoh ini memiliki Rahasia hidup Abadi, tetapi karena dihina dan diejek oleh suku bangsanya sendiri maka ia marah lalu minggat ke dunia barat dan rahasia hidup itu ia ungkapkan untuk orang barat yang dengan sepenuh hati menerima kedatangannya. Itulah sebabnya mengapa orang barat berkulit putih berhidung mancung hidup sehat panjang umur makmur dan sejahtera. Tokoh ini berjanji bahwa suatu saat nanti ia akan kembali ke Biak, dan rahasia kelestarian hidup itu ia akan akan beberkan untuk semua orang Biak Gerakan Koreri timbul disaat orang Biak mengalami krisis ekonomi politik dan segala bentuk ketidakpastian hidup. Tekanan-tekanan ini mendorong keinginan untuk mewujudkan kedatangan kembali tokoh Mananarmakeri bersama negeri bahagia Koreri yang dipimpinya. Salah satu ciri yang menonjol dari gerakan Koreri adalah suasana dimana orang Biak dari berbagai penjuru datang berkumpul di suatu tempat untuk menari dan menyanyi wor Biak dalam lingkungan gerakan koreri terdapat suatu ungkapan yang berbunyi : Mgo Wor Ido Mgo Myer Pyum Kaku, Insama Mgo Rer", artinya ‘'Kalau kamu ingin kehidupan abadi maka kamu harus menyanyi Wor dengan gaya "myer' atau "cengkok" yang indah dan benar, Ungkapan di atas memberi petunjuk, betapa pentingnya kedudukan wor dalam gerakan Koreri. Oleh sebab itu tidak mengherankan dalam gerakan Koreri di Rani dan Insumbabi sebagian besar Wor versi Sampari digunakan baik sebagai syarat mutlak bagi penerbitan Negara Koreri maupun sebagai media pengikat dan pemersatu orang Biak Numfor untuk ikut aktif berpartisipasi dalam gerakan ini. Selain Wor Sampari, Enggenditha yang juga terkenal sebagai penyair Wor Biak menciptakan wor - wor Koreri untuk mensupport gerakannya. Gubahan-gubahan Enggenditha berbau Sinkritisme karena melalui syair-syairnya ia bermaksud membudayakan ajarannya yang mengkalim bahwa sesungguhnya Jesus Kristus dimana diperkirakan sekitar 2000 orang Biak yang terbunuh pada waktu itu lahir di Biak. Pulau Rani diklaim sebagai Gadara dan Insumbabi sebagai Yudea sedangkan Betlehem adalah pulau Aiburanbondi, tempat dimana Enggenditha pernah diasingkan karena penyakit kustanya dan mengalami kesembuhan secara ajaib.

Gerakan Enggenditha bertendensi menentang Zending karena banyak guru-guru Zending ditangkap dan dipenjarakan di Rani lantaran mereka menolak menjadi pengikut gerakan tersebut. Tindakan ini merupakan konpensasi dari kecurigaannya terhadap pendeta Belanda yang dituduhnya merobek salah satu halaman Alkitab yang menyatakan bahwa Jesus Kristus lahir di Biak.

Gerakan Enggendith yang sebelumnya bercorak spiritual dirobah dengan warna baru pada tahun 1942 oleh dua orang kakak beradik yakni Stefanus dan Yan Simopiaref.

Dipertengahan tahun itu juga setelah Enggenditha dan Stefanus ditangkap Jepang dan dihukum pancung di M'nukwari maka Yan Simopiaref memindahkan markas Koreri ke Manswam.

Gerakan koreri versi Simopiaref bersaudara cenderung ekstrim, dan terang-terang menentang pemerintah penduduk Jepang. Oleh sebab itu pada tahun 1943 gerakan tersebut dipatahkan oleh tentara Jepang melalui "Tragedi Manswam”.

            ( Kumpulan artikel Eksistensi  )