KEPUTUSAN KAINKAIN KARKARA BIAK (1948)
Seusai
Perang Dunia-II, Pemerintah Kolonial Belanda kembali berkuasa di Biak-Papua bermaksud
melakukan penertiban terhadap unsur serta aspek budaya setempat yang dianggap
menghalangi kemajuan orang Biak yang kala itu ditargetkan sebagai pionir-pionir
pembangunan di Papua. Unsur serta 'aspek budaya yang dimaksud adalah upacara
adat dan nyanyian Wor Biak. Mas Kawin, kasus kasus persinahan dan pembunuhan, yang
tidak jarang menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat
Dalam
rangka realisasi dari program sivilisasi tersebut, maka pada tahun 1947
dibentuk suatu Dewan Daerah yang diberi nama "KANKAIN KARKARA BIAK” (Dewan
Musyawarah Biak) yang disahkan dengan surat Keputusan Residen Nieuw Guinea
Nomor 418 tanggal 20 November l947, yang anggotanya terdiri dari Kepala- kepala
kampung di seluruh Biak Numfor, sedangkan ketuanya dirangkap oleh HPB JV de
Bruin Kepala Pemerintahan Onder Afdeeling Schooten dan Numfor.
Oleh karena adanya masukan-masukan dari guru-guru Zending yang ditawan pada saat gerakan Koreri di Pulau Rani serta fakta tentang peristiwa trauma di Mansawam, membuat Wor Biak diagendakan sebagai bahasan utama pada pertemuan perdana Kainkain Karkara Biak yang dilaksnakan di Kameri Numfor pada tanggal 8-9 Maret 1948.
Hasil peretemuan di Kameri kemudia dituangkan dalam “Daftar Keputusan dari Kepala Pemerintah Daerah Kepulauan Schouten dan Noomfor Nomor 1 tanggal 23 april 1948 yang isinya antara lain memutuskan bahwa:
Nyanyan wor itu memperoleh ijin untuk dinyanyikan sekiranya sudah mendapat keluasan dari Kepala Distrik dan pada waktu menyanyikan wor, polisi ada serta; jadi apabila polisi belum hadir, maka Wor itu tidak boleh dilakukan (lampiran l).
Sedangkan nyanyian Wor yang sama sekali dilarang adalah :
Wor Mamun (Lagu perang),
Wor Aurak (Lagu menghimpun prajurit),
Wor Armis (Lagu pemancing kemarahan musuh),
Wor Fan Nanggi (Lagu/upacara memberi makan langit) serta
Wor Rasrus (Lagu menggali orang mati).
Lagu-lagu tersebut di atas adalah lagu-lagu yang merangsang
semangat perang, kultus pemujaan terhadap Tuhan langit orang Biak dan kultus
terhadap arwah
orang mati.
Disamping
permintaan dari pihak Zending pemerintah kolonial melarang orang Biak menyanyi Wor karena Wor dianggap sebagai media
provokatif yang gampang menyulut semangat rakyat untuk bangkit menentang
pemerintah colonial Belanda, Larangan tersebut lebih memperparah kemunduran Wor yang sebelumnya
dimusuhi Zending.
Orang
Biak takut menyanyi Wor karena kuatir ditangkap polisi colonial Belanda dan dimasukan di
penjara. Meski banyak orang Biak yang memiliki keahlian mengubah dan menyanyi Wor, tetapi keahlian ini
tidak sempat mereka turunkan kepada generasi berikutnya karena diliputi rasa
kuatir yang mendalam sebagai imbas dari Keputusan kepala Pemerintah Daerah Kepulauan
Schouten dan Noomfor Nomor 11 tanggal 28 April 1948.
(Kumpulan
artikel Exsistensi Wor di Biak)
No comments:
Post a Comment