Wednesday, September 28, 2022

EKSISTENSI WOR BIAK (Part. 3)

         KEPUTUSAN KAINKAIN KARKARA BIAK (1948)

Seusai Perang Dunia-II, Pemerintah Kolonial Belanda kembali berkuasa di Biak-Papua bermaksud melakukan penertiban terhadap unsur serta aspek budaya setempat yang dianggap menghalangi kemajuan orang Biak yang kala itu ditargetkan sebagai pionir-pionir pembangunan di Papua. Unsur serta 'aspek budaya yang dimaksud adalah upacara adat dan nyanyian Wor Biak. Mas Kawin, kasus kasus persinahan dan pembunuhan, yang tidak jarang menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat

Dalam rangka realisasi dari program sivilisasi tersebut, maka pada tahun 1947 dibentuk suatu Dewan Daerah yang diberi nama "KANKAIN KARKARA BIAK” (Dewan Musyawarah Biak) yang disahkan dengan surat Keputusan Residen Nieuw Guinea Nomor 418 tanggal 20 November l947, yang anggotanya terdiri dari Kepala- kepala kampung di seluruh Biak Numfor, sedangkan ketuanya dirangkap oleh HPB JV de Bruin Kepala Pemerintahan Onder Afdeeling Schooten dan Numfor.

Oleh karena adanya masukan-masukan dari guru-guru Zending yang ditawan pada saat gerakan Koreri di Pulau Rani serta fakta tentang peristiwa trauma di Mansawam, membuat Wor Biak diagendakan sebagai bahasan utama pada pertemuan perdana Kainkain Karkara Biak yang dilaksnakan di Kameri Numfor pada tanggal 8-9 Maret 1948. 

Hasil peretemuan di Kameri kemudia dituangkan dalam “Daftar Keputusan dari Kepala Pemerintah Daerah Kepulauan Schouten dan Noomfor Nomor 1 tanggal 23 april 1948 yang isinya antara lain memutuskan bahwa: 

Nyanyan wor itu memperoleh ijin untuk dinyanyikan sekiranya sudah mendapat keluasan dari Kepala Distrik dan pada waktu menyanyikan wor, polisi ada serta; jadi apabila polisi belum hadir, maka Wor itu tidak boleh dilakukan (lampiran l). 

Sedangkan nyanyian Wor yang sama sekali dilarang adalah : 

Wor Mamun (Lagu perang), 

Wor Aurak (Lagu menghimpun prajurit), 

Wor Armis (Lagu pemancing kemarahan musuh), 

Wor Fan Nanggi (Lagu/upacara memberi makan langit) serta 

Wor Rasrus (Lagu menggali orang mati). 

Lagu-lagu tersebut di atas adalah lagu-lagu yang merangsang semangat perang, kultus pemujaan terhadap Tuhan langit orang Biak dan kultus terhadap arwah orang mati.

Disamping permintaan dari pihak Zending pemerintah kolonial melarang orang Biak menyanyi Wor karena Wor dianggap sebagai media provokatif yang gampang menyulut semangat rakyat untuk bangkit menentang pemerintah colonial Belanda, Larangan tersebut lebih memperparah kemunduran Wor yang sebelumnya dimusuhi Zending.

Orang Biak takut menyanyi Wor karena kuatir ditangkap polisi colonial Belanda dan dimasukan di penjara. Meski banyak orang Biak yang memiliki keahlian mengubah dan menyanyi Wor, tetapi keahlian ini tidak sempat mereka turunkan kepada generasi berikutnya karena diliputi rasa kuatir yang mendalam sebagai imbas dari Keputusan kepala Pemerintah Daerah Kepulauan Schouten dan Noomfor Nomor 11 tanggal 28 April 1948.

(Kumpulan artikel Exsistensi Wor di Biak)

No comments:

Post a Comment